Jumat, 15 November 2013

FEATURE

Saat Tawa di Pulau Bangka Berubah Menjadi Derai Air Mata

Pada awal bulan di tahun 2011, tak bisa digambarkan rona wajah saat melihat bentangan batuan granit disisi Pantai Rebo, Bangka. Rona pipi yang sumringah dan canda tawa selalu terpancar dariku. Tepat di hari ketiga liburan kabar duka atas meninggalnya Kasta Bin Kama yang tak lain adalah kakek dari ibuku, seolah merubah tawa selama 3 hari di Pulau penghasil Timah ini menjadi derai air mata.

Tepatnya senin , (13/2) tahun 2011 panorama Pulau Bangka dapat aku lihat secara langsung. Seperti mimpi rasanya, ditambah pergi berlibur menggunakan pesawat terbang pertama kalinya memang menjadi pengalaman yang takkan terlupakan bagiku. Dian Eka Shanty , seorang mahasiswi jurusan psikologi di Universitas Gunadarma adalah sahabat karibku yang mengajak berlibur ke tempat kelahirannya, Bangka. Minggu jam 12.00 WIB, seharusnya kita sudah berangkat menuju Bangka, tapi pemberangkatan pesawat Batavia Air yang akan kami tumpangi di delay hingga jam 2 siang. Rasa kecewa pasti ada, lantaran aku sudah bersiap-siap sejak pagi agar dalam perjalanan dari Depok menuju Bandara Soekarno-Hatta tidak terkena macet. Apadaya dijalan terkena macet, dibandara pun pemberangkatan di delay. Tapi, semua itu tak menyurutkan impianku untuk berkunjung ke Pulau yang juga merupakan penghasil lada. Sambil menunggu pemberangkatan yang tertunda, kita berdua juga menyempatkan untuk shalat dzuhur dan melepas lelah sejenak. Sempat terbesit keheranan saat aku mencari sebuah mushola. Ternyata musholanya itu berada dibawah ruang tunggu ,”kenapa musholanya dibawah nggk di atas?gimana coba kalo yang mau shalatnya orang yang sudah tua, kan kasian harus turun tangga mana tempatnya sempit lagi, gumamku”. Kalau bicara tempat ibadah ditempat umum memang identik dengan”susah terjangkau , kecil ,dsb”. Jangankan di Bandara yang begitu besar , di kebanyakan mall saja mencari rumah Allah tersebut harus pergi ke arah belakang parkiran mobil. Tepat jam 14.00 WIB, rasa kesal pun memudar setelah pesawat yang akan kita tumpangi telah tersedia. Tak berselang lama perjalanan Jakarta-Bangka, pak Karsilan yang merupakan ayah dari sahabatku beserta istri dan putri keduanya sudah menunggu di Bandara Pangkal Pinang. Perjalanan pun masih berlanjut, karena jarak dari Bandara menuju Desa Pemali Kecamatan Pemali rumah sahabat karibku itu hampir sejam .
Senin hari pertama berlibur, saat ufuk timur mulai terbit aku di ajak ke sebuah objek wisata Tirta Tapta Pemali yang merupakan pemandian air panas. Melewati sejuknya udara Bangka di pagi hari , tempat penambangan timah pun menjadi pemandangan asri yang pertama kali aku lihat. Untuk masuk ke tempat objek wisata tersebut ternyata tidak dipungut biaya kalau datang di pagi hari sebelum jam kerja dimulai. Disitu ada 2 kolam renang air biasa dan satu kolam renang air panas. Tak jauh dari kolam yang di pisahkan oleh taman yang tertata cantik , ada banyak jenis satwa seperti ular, orang hutan, burung merpati , kura-kura , ikan yang berada di kolam kecil, burung cendrawasih dan ada pula binatang yang khalayak anggap buas yaitu buaya. Merasa sudah sangat puas berenang dan melihat banyak jenis satwa ,dian (19) pun mengajak aku untuk bergegas pulang, sempat aku meliihat kantor dan asrama penambangan timah. Selain itu , disekililing lahan juga banyak galian bekas penambangan timah. Entah seperti apa prosesnya berlangsung , hanya galian yang di genangi air yang tampak terlihat oleh kasat mata.
            Pukul 20.00 WIB pak Karsilan (50) dan sanak sanak saudara lainnya mengajak aku untuk berkeliling, pulau yang menggunakan bahasa persis melayu sebagai bahasa sehari-harinya ini. Panoraman malam di kota ini memang indah , seindah penjamuan keluarga besar dian yang begitu hangat. Keesokan harinya sepulang kerja kedua orangtua dian mengajak untuk menyusuri pulau yang punya keindahan pasir putihnya. Kita semua mempersiapkan makanan yang akan di bawa, tak ketinggalan pak karsilan pun membawa alat pancingan untuk memancing ikan disekitar rawa yang tak jauh dari pantai. Saat hendak meluncur untuk beradrenali , tikar untuk alas pun hampir ketinggalan akhirnya Riris(16) adik dari sahabatku mengambil tikar yang tertinggal di dalam rumah. Untuk menikmati indahnya panoraman Pantai Rebo yang terletak di kampung Rebo , Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka di butuhkan waktu 30 menit.
Bentangan bebatuan granit yang berdiri dalam berbagai posisi membuat kunjungan kami menjadi lebih mengesankan karena bebatuan tersebut seakan menjadi tempat untuk duduk bersantai dan tidur dengan alunan ombak yang lembut. Hanya aku , dian , riris, dan saudara-saudara yang sepantaran saja bermain pasir dan berenang di tepi pantai. Sesaat kita semua   menyantap makanan yang telat dibekalkan dari rumah. Liburan kali ini pun semakin lengkap, selalu terselip tawa dalam setiap moment. Beranjak  siang seperti ini para penambang mulai beraksi, mesin-mesin mulai terdengar dan menyedot pasir yang mengandung timah.  Waktu pun berjalan sangat cepat dan hari sudah mulai senja ditambah cuaca yang semakin tidak bersahabat , segeralah pak karsilan menancap gas mobil dan bergegas pulang. Rasa letih ternyata membuatku langsung tidur pulas.
            Rabu (15/2) saat ufuk timur mulai terbit, aku dibangunkan oleh dering telepon , ternyata fitri kakakku yang menelpon .”vi udah bangun ? ada kabar duka , kakek kasta meninggal dunia setelah adzan subuh tadi , ujarnya”. “Inalillahi Wainailaihiroziun”. Mendengar suara kakak dengan terisak tangisan membuat air mataku tak bisa terbendung lagi, mengalir di pipi dan membasahinya.” Terus ka firiti pulang nggk? Ujarku”. “ kaka baru bisa pulang pas hari jum’at, sekarang kaka masih harus masuk kerja soalnya. Kalo kamu mau, kamu pulang duluan ke kampung gimana?tapi fikirkan dulu saja, nanti kamu kabari kaka, ujar gadis yang memiliki nama lengkap Fitri Candra Dewi ini’. Langsung saja aku menelpon ayah di kampung “ assalamualaikum yah , kakek udah di shalatkan ? ujarku”. “ belum vi, jenazahnya baru mau di mandikan, kamu mau pulang apa masih mau berlibur di Bangka?ujar ayah dari empat orang anak ini”. Semakin sedih saat ayah menanyakan padaku untuk pulang atau tidak, tentu aku pasti pulang dan mengakhiri petualangan di Pulau Bangka ini, gumamku dalam hati. “ pasti vi pulang yah”. Saat dian memasuki kamar dan melihat derai air mata membasahi pipiku di pagi itu , lantas ia langsung menanyakan apa yang telah terjadi hingga aku menangis.
Sungguh ironi memang mendengar kabar yang menyayat hati ini, saat selesai menjelaskan kepada dian dan kedua orangtuanya , aku pun meminta izin untuk pulang. Tawaku kemarin di Pantai Rebo menjadi duka di hari ini , senyum dan rona pipi sumringah telah di basahi derai air mata. Pukul 16.00 WIB  keluarga dian mengantarku menuju Bandara Pangkal Pinang, pak karsilan telah membelikanku tiket pulangg untuk hari itu juga dibantu saudaranya yang bekerja di Bandara Pangkal Pinang agar cepat memperoleh tiket tersebut. Seturunya dari mobil air mataku pun tak bisa dibendung lagi , peluk dari ibu dian yang begitu hangat membuat suasana menjadi haru. Keluarga yang baru ditemui itu seolah sudah sangat lama aku mengenalnya. Selesai berpamitan dengan derai air mata , saudara pak karsilan memintaku untuk segera bergegas ke ruang tunggu karena dipastikan pesawat Sriwijaya Air yang akan aku tumpangi segera tiba. Dalam perjalanan sempat diselimuti rasa was-was yang cukup tinggi, cuaca mendung dengan awan yang begitu gelap membuat jarak pandang pesawat pun harus ekstra hati-hati. Dalam perjalanan pulang seorang diri ini aku selalu berdoa agar selamat sampai tujuan. Awan yang gelap ternyata tidak sama dengan cuaca di Jakarta yang terang benderang. Saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta , ka fitri sudah menjemput.

            Perjalanan pun di lanjutkan Kamis (16/2) aku pulang ke Majalengka  kampung halamanku. Kasta Bin Kama nama lengkap kakek memejampakan mata untuk terakhir kalinya dalam usia 80 tahun. Tak banyak kenanganku dengan beliau , namun ia di kenal sebagai sosok ayah yang sangat bijaksana di mata anak-anak yang ia tinggalkan. Kakek yang meninggalkan 7 0rang anak dan 16 cucu ini adalah tipe orang yang tidak banyak bicara, namun selalu berlaku adil di antara ke tujuh anaknya tersebut. Kini tak ada lagi kakek yang selalu ceria dan rajin bekerja. Rum , wanita yang sudah lansia ini adalah orang yang sangat merasa kehilangan atas meninggalnya sosok suami yang selalu setia hingga nafas terakhir yang ia hembuskan. Kenangan perjalanan hidup saat pertama kali mereka menikah membuat nenek selalu bercucuran air mata. Sesampai disana segeralah aku menuju rumah kakek. Jenazah almarhum pun sudah diantarkan ke tempat peristirahatan terakhir beliau, sesaat setelah ayah memberiku kabar bahwa kakek telang meninggal. Andai aku bisa memutar waktu , ingin rasanya berada di Samping kakekku saat hembusan nafas untuk terakhir kalinya itu. Tak ada yang tahu kejadian hari ini ,esok, lusa dan hari-hari seterusnya dengan takdir yang sudah Allah gariskan , tapi walaupun begitu doa dan ziarah lah yang akan menenangkan beliau di alam baka. Ia juga pasti akan membalasnya dengan senyuman saat ia tahu  orang-orang yang ia tinggalkan dapat mengikhlaskan kepergiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar