Saat Tawa di Pulau
Bangka Berubah Menjadi Derai Air Mata
Pada
awal bulan di tahun 2011, tak bisa digambarkan rona wajah saat melihat
bentangan batuan granit disisi Pantai Rebo, Bangka. Rona pipi yang sumringah
dan canda tawa selalu terpancar dariku. Tepat di hari ketiga liburan kabar duka
atas meninggalnya Kasta Bin Kama yang tak lain adalah kakek dari ibuku, seolah
merubah tawa selama 3 hari di Pulau penghasil Timah ini menjadi derai air mata.
Tepatnya senin , (13/2) tahun 2011
panorama Pulau Bangka dapat aku lihat secara langsung. Seperti mimpi rasanya,
ditambah pergi berlibur menggunakan pesawat terbang pertama kalinya memang
menjadi pengalaman yang takkan terlupakan bagiku. Dian Eka Shanty , seorang
mahasiswi jurusan psikologi di Universitas Gunadarma adalah sahabat karibku
yang mengajak berlibur ke tempat kelahirannya, Bangka. Minggu jam 12.00 WIB,
seharusnya kita sudah berangkat menuju Bangka, tapi pemberangkatan pesawat
Batavia Air yang akan kami tumpangi di delay hingga jam 2 siang. Rasa kecewa
pasti ada, lantaran aku sudah bersiap-siap sejak pagi agar dalam perjalanan dari
Depok menuju Bandara Soekarno-Hatta tidak terkena macet. Apadaya dijalan
terkena macet, dibandara pun pemberangkatan di delay. Tapi, semua itu tak
menyurutkan impianku untuk berkunjung ke Pulau yang juga merupakan penghasil
lada. Sambil menunggu pemberangkatan yang tertunda, kita berdua juga
menyempatkan untuk shalat dzuhur dan melepas lelah sejenak. Sempat terbesit
keheranan saat aku mencari sebuah mushola. Ternyata musholanya itu berada
dibawah ruang tunggu ,”kenapa musholanya dibawah nggk di atas?gimana coba kalo
yang mau shalatnya orang yang sudah tua, kan kasian harus turun tangga mana
tempatnya sempit lagi, gumamku”. Kalau bicara tempat ibadah ditempat umum
memang identik dengan”susah terjangkau , kecil ,dsb”. Jangankan di Bandara yang
begitu besar , di kebanyakan mall saja mencari rumah Allah tersebut harus pergi
ke arah belakang parkiran mobil. Tepat jam 14.00 WIB, rasa kesal pun memudar
setelah pesawat yang akan kita tumpangi telah tersedia. Tak berselang lama
perjalanan Jakarta-Bangka, pak Karsilan yang merupakan ayah dari sahabatku
beserta istri dan putri keduanya sudah menunggu di Bandara Pangkal Pinang.
Perjalanan pun masih berlanjut, karena jarak dari Bandara menuju Desa Pemali
Kecamatan Pemali rumah sahabat karibku itu hampir sejam .
Senin hari pertama berlibur, saat
ufuk timur mulai terbit aku di ajak ke sebuah objek wisata Tirta Tapta Pemali
yang merupakan pemandian air panas. Melewati sejuknya udara Bangka di pagi hari
, tempat penambangan timah pun menjadi pemandangan asri yang pertama kali aku
lihat. Untuk masuk ke tempat objek wisata tersebut ternyata tidak dipungut
biaya kalau datang di pagi hari sebelum jam kerja dimulai. Disitu ada 2 kolam
renang air biasa dan satu kolam renang air panas. Tak jauh dari kolam yang di
pisahkan oleh taman yang tertata cantik , ada banyak jenis satwa seperti ular,
orang hutan, burung merpati , kura-kura , ikan yang berada di kolam kecil,
burung cendrawasih dan ada pula binatang yang khalayak anggap buas yaitu buaya.
Merasa sudah sangat puas berenang dan melihat banyak jenis satwa ,dian (19) pun
mengajak aku untuk bergegas pulang, sempat aku meliihat kantor dan asrama
penambangan timah. Selain itu , disekililing lahan juga banyak galian bekas
penambangan timah. Entah seperti apa prosesnya berlangsung , hanya galian yang
di genangi air yang tampak terlihat oleh kasat mata.
Pukul 20.00
WIB pak Karsilan (50) dan sanak sanak saudara lainnya mengajak aku untuk
berkeliling, pulau yang menggunakan bahasa persis melayu sebagai bahasa
sehari-harinya ini. Panoraman malam di kota ini memang indah , seindah
penjamuan keluarga besar dian yang begitu hangat. Keesokan harinya sepulang kerja
kedua orangtua dian mengajak untuk menyusuri pulau yang punya keindahan pasir
putihnya. Kita semua mempersiapkan makanan yang akan di bawa, tak ketinggalan
pak karsilan pun membawa alat pancingan untuk memancing ikan disekitar rawa
yang tak jauh dari pantai. Saat hendak meluncur untuk beradrenali , tikar untuk
alas pun hampir ketinggalan akhirnya Riris(16) adik dari sahabatku mengambil
tikar yang tertinggal di dalam rumah. Untuk menikmati indahnya panoraman Pantai
Rebo yang terletak di kampung Rebo , Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat
Kabupaten Bangka di butuhkan waktu 30 menit.
Bentangan bebatuan granit yang
berdiri dalam berbagai posisi membuat kunjungan kami menjadi lebih mengesankan
karena bebatuan tersebut seakan menjadi tempat untuk duduk bersantai dan tidur
dengan alunan ombak yang lembut. Hanya aku , dian , riris, dan saudara-saudara
yang sepantaran saja bermain pasir dan berenang di tepi pantai. Sesaat kita
semua menyantap makanan yang telat
dibekalkan dari rumah. Liburan kali ini pun semakin lengkap, selalu terselip
tawa dalam setiap moment. Beranjak siang
seperti ini para penambang mulai beraksi, mesin-mesin mulai terdengar dan
menyedot pasir yang mengandung timah.
Waktu pun berjalan sangat cepat dan hari sudah mulai senja ditambah
cuaca yang semakin tidak bersahabat , segeralah pak karsilan menancap gas mobil
dan bergegas pulang. Rasa letih ternyata membuatku langsung tidur pulas.
Rabu (15/2) saat
ufuk timur mulai terbit, aku dibangunkan oleh dering telepon , ternyata fitri
kakakku yang menelpon .”vi udah bangun ? ada kabar duka , kakek kasta meninggal
dunia setelah adzan subuh tadi , ujarnya”. “Inalillahi Wainailaihiroziun”.
Mendengar suara kakak dengan terisak tangisan membuat air mataku tak bisa
terbendung lagi, mengalir di pipi dan membasahinya.” Terus ka firiti pulang
nggk? Ujarku”. “ kaka baru bisa pulang pas hari jum’at, sekarang kaka masih
harus masuk kerja soalnya. Kalo kamu mau, kamu pulang duluan ke kampung
gimana?tapi fikirkan dulu saja, nanti kamu kabari kaka, ujar gadis yang
memiliki nama lengkap Fitri Candra Dewi ini’. Langsung saja aku menelpon ayah
di kampung “ assalamualaikum yah , kakek udah di shalatkan ? ujarku”. “ belum
vi, jenazahnya baru mau di mandikan, kamu mau pulang apa masih mau berlibur di
Bangka?ujar ayah dari empat orang anak ini”. Semakin sedih saat ayah menanyakan
padaku untuk pulang atau tidak, tentu aku pasti pulang dan mengakhiri
petualangan di Pulau Bangka ini, gumamku dalam hati. “ pasti vi pulang yah”.
Saat dian memasuki kamar dan melihat derai air mata membasahi pipiku di pagi
itu , lantas ia langsung menanyakan apa yang telah terjadi hingga aku menangis.
Sungguh ironi memang mendengar kabar
yang menyayat hati ini, saat selesai menjelaskan kepada dian dan kedua
orangtuanya , aku pun meminta izin untuk pulang. Tawaku kemarin di Pantai Rebo
menjadi duka di hari ini , senyum dan rona pipi sumringah telah di basahi derai
air mata. Pukul 16.00 WIB keluarga dian
mengantarku menuju Bandara Pangkal Pinang, pak karsilan telah membelikanku
tiket pulangg untuk hari itu juga dibantu saudaranya yang bekerja di Bandara
Pangkal Pinang agar cepat memperoleh tiket tersebut. Seturunya dari mobil air
mataku pun tak bisa dibendung lagi , peluk dari ibu dian yang begitu hangat
membuat suasana menjadi haru. Keluarga yang baru ditemui itu seolah sudah
sangat lama aku mengenalnya. Selesai berpamitan dengan derai air mata , saudara
pak karsilan memintaku untuk segera bergegas ke ruang tunggu karena dipastikan
pesawat Sriwijaya Air yang akan aku tumpangi segera tiba. Dalam perjalanan
sempat diselimuti rasa was-was yang cukup tinggi, cuaca mendung dengan awan
yang begitu gelap membuat jarak pandang pesawat pun harus ekstra hati-hati.
Dalam perjalanan pulang seorang diri ini aku selalu berdoa agar selamat sampai
tujuan. Awan yang gelap ternyata tidak sama dengan cuaca di Jakarta yang terang
benderang. Saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta , ka fitri sudah menjemput.
Perjalanan
pun di lanjutkan Kamis (16/2) aku pulang ke Majalengka kampung halamanku. Kasta Bin Kama nama lengkap
kakek memejampakan mata untuk terakhir kalinya dalam usia 80 tahun. Tak banyak
kenanganku dengan beliau , namun ia di kenal sebagai sosok ayah yang sangat
bijaksana di mata anak-anak yang ia tinggalkan. Kakek yang meninggalkan 7 0rang
anak dan 16 cucu ini adalah tipe orang yang tidak banyak bicara, namun selalu
berlaku adil di antara ke tujuh anaknya tersebut. Kini tak ada lagi kakek yang
selalu ceria dan rajin bekerja. Rum , wanita yang sudah lansia ini adalah orang
yang sangat merasa kehilangan atas meninggalnya sosok suami yang selalu setia
hingga nafas terakhir yang ia hembuskan. Kenangan perjalanan hidup saat pertama
kali mereka menikah membuat nenek selalu bercucuran air mata. Sesampai disana
segeralah aku menuju rumah kakek. Jenazah almarhum pun sudah diantarkan ke
tempat peristirahatan terakhir beliau, sesaat setelah ayah memberiku kabar
bahwa kakek telang meninggal. Andai aku bisa memutar waktu , ingin rasanya
berada di Samping kakekku saat hembusan nafas untuk terakhir kalinya itu. Tak
ada yang tahu kejadian hari ini ,esok, lusa dan hari-hari seterusnya dengan
takdir yang sudah Allah gariskan , tapi walaupun begitu doa dan ziarah lah yang
akan menenangkan beliau di alam baka. Ia juga pasti akan membalasnya dengan
senyuman saat ia tahu orang-orang yang
ia tinggalkan dapat mengikhlaskan kepergiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar