KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA
v Menurut JAPPY PELLOKILA
Persamaan Membangun
Kerukunan Antar Umat Beragama. Tidak bisa dibantah bahwa, pada akhir-akhir ini,
ketidakerukunan antar dan antara umat beragama (yang terpicu karena bangkitnya
fanatisme keagamaan) menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah
hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu,
perlu orang-orang yang menunjukkan diri sebagai manusia beriman (dan beragama)dengan
taat, namun berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka yang berbeda
agama. Disinilah letak salah satu peran umat beragama dalam rangka hubungan
antar umat beragama, yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh,
sekaligus tidak menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan. Di balik
aspek perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak
berubah, yaitu credo atau pengakuan iman.Credo merupakan sesuatu khas, dan
mungkin tidak bisa dijelaskan secara logika, karena menyangkut iman atau
percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan
seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama melakukan pembedaan satu
sama lain. Dari pembedaan, karena berbagai sebab, bisa berkembang menjadi
pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain sebagainya, kemudian
berujung pada konflik.
Di samping itu, hal-hal
lain seperti pembangunan tempat ibadah, ikon-ikon atau lambang keagamaan, cara
dan suasana penyembahan atau ibadah, termasuk di dalamnya perayaan keagamaan,
seringkali menjadi faktor ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama.
Jika semua bentuk pembedaan serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan
oleh masing-masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar
manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya,
masyarakat mudah terjerumus ke dalam pertikaian berdasarkan agama (di samping perbedaan
suku, ras dan golongan). Untuk mencegah semuanya itu, salah satu langkah yang
penting dan harus terjadi adalahkerukunan umat beragama. Suatu bentuk kegiatan
yang harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat beragama.
Kerukunan (dari ruku,
bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang
memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya) secara luas bermakna
adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka
berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna
suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta
kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta
tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan
proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama,
serta cinta-kasih.
Di samping itu, harus
terjadi kerukunan intern umat beragama. Hubungan tak harmonis intern umat
beragama pun bisa merusak atau berdampak masyarakat luas yang berbeda agama.
Biasanya perbedaan tafsiran terhadap teks kitab suci dan pemahaman teologis
dalam agama-agama memunculkan konflik serta perpecahan pada umat seagama.
Konflik dan perpecahan yang melebar, bisa mengakibatkan rusaknya tatanan
hubungan baik antar manusia, bahkan mengganggu hidup dan kehidupan masyarakat
luas. Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak mengganggu ketertiban umum;
tidak memaksa seseorang pindah agama; tidak menyinggung perasaan keagamaan atau
ajaran agama dan iman orang yang berbeda agama; dan lain-lain
Kerukunan antara umat
beragama dan kerukunan intern umat seagama harus juga seiring dengan kerukunan
umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah adalah lembaga yang berfungsi
memberlakukan kebaikan TUHAN Allah kepada manusia; pemelihara ketertiban,
keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam kenyataan
kesehariannya, seringkali terlihat bahwa, pemerintah dengan politik
akomodasinya, bukan bertindak sebagai fasilitator kerukunan umat beragama,
tetapi membela salah satu agama.
v Kerukunan
Antar Umat Beragama Menurut Pandangan Islam
Kerukunan adalah
istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup
bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak
menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan
tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan
didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika
sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil
yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu
Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak
manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang
terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan
pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan
terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah menjadi
kodrat dalam masyarakat manusia?.
Pertanyaan seperti
tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk
mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda
arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta. Manusia
ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan
interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia
memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam
menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan
sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat
Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
A. Kerja sama intern
umat beragama
Persaudaraan atau
ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam
islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52
kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat
macam,yaitu :
- Ukhuwah ’ubudiyah atau
saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
- Ukhuwah insaniyah
(basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua
berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa.
- Ukhuwah wathaniyah
wannasab,yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
- Ukhuwwah fid din al
islam, persaudaraan sesama muslim.
Esensi dari
persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk perhatian,
kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi
menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya yang artinya ” Seorang
mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota
tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah
persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan
di kalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan
yang diikat oleh kesamaan aqidah.
Persatuan dan kesatuan
sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip
ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah
rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Salah
satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam adalah
karena randahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam.
Persatuan di kalangan
muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan
golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat. Perpecahan itu biasanya
diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap suatu
fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat islam misalnya seringkali terjadi
perbedaan pendapat atau penafsiran mengenal sesuatu hukum yang kemudian
melahirkan berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran
pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi, karena itu menyikapi
perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran.
Untuk menghindari
perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan
tiga konsep,yaitu :
1. Konsep tanawwul al
’ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang
dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan
akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah.
Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku
Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits).
2. Konsep al mukhtiu fi
al ijtihadi lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran).
Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang
ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah ,
walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat
bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan
Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian,
perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang
pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang
disampaikannya setelah melalui ijtihad.
3. Konsep la hukma
lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum
upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa
pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik
dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh
karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya
melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah
bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.
Ketiga konsep di atas
memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya perbedaan dalam
pemahaman maupun pengalaman. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan firman-fiman-Nya,sedangkan
interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif. Karena itu sangat
dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan
pertentangan dan permusuhan. Di sini konsep Islam tentang Islah diperankan
untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga tidak menimbulkan
permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan untuk
menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling
bertentangan.
B. Kerja sama antar
umat beragama
Memahami dan mengaplikasikan
ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan
dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat
manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal.
Kendatipun dapat dipahami bahwa Isalam yang hakiki hanya dirujukkan kepada
konsep al-quran dan As-sunnah, tetapi dampak sosial yanag lahirdari pelaksanaan
ajaran isalam secara konsekwen ddapat dirasakan oleh manusia secara
keseluruhan.
Demikian pula pada
tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa,nilai-nilai ajaran Islam
menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam
suatu kesatuan kebenaran dan keadilan. Dominasi salah satu etnis atau negara
merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai
kebenaran dan keadilan yang bersifat universal.
Universalisme Islam
dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologo. Dari segi agama, ajaran
Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan
alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama
menerima satu dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu
masyarakat yang homogin hanya denga tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca
syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang
sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan
umat Islam.
Ditinjau dari segi
sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua
manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan
kepada umat Islam secara khususu untuk menunjukan peraturan-peraturan yang
harus mereka ikuti. Karena itu maka pembentukan masyarakat yang terpisah
merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Qur’an tanpa mengurangi
universalisme Islam.
Melihat Universalisme
Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada
kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan,dan
keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari pertentangan dan
perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian
tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat
manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa dan agama. Hubungan
antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam,
kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan
tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain,
tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja samayang baik. Kerja
sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia
yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama ydalam
bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan
sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
v Trilogi
Kerukunan Umat Beragama
Dalam setiap jenjang
pendidikan, selalu dikenalkan adanya trilogi kerukunan umat beragama yang harus
dijunjung oleh masing-masing warga negara Indonesia guna terbentuknya
kerukunan, kedamaian, dan terciptanya stabilitas nasional. Trilogi kerukunan
umat beragama itu antara lain adalah:
1. Kerukunan intern
umat beragama.
2. Kerukunan antar umat
beragama.
3. Kerukunan antar umat
beragama dengan pemerintah.
Hal-hal tersebut
diataslah yang menjadi nilai-nilai yang bisa diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang madani, aman dan
sejahtera. Kerukunan intern umat beragama berarti adanya kesepahaman dan
kesatuan untuk melakukan amalan dan ajaran agama yang dipeluk dengan
menghormati adanya perbedaan yang masih bisa ditolerir. Misal dalam islam ada
NU, Muhammadiyah, dsb. Dalam protestan ada GBI, Pantekosta dsb. Dalam katolik
ada Roma dan ortodoks. Hendaknya dalam intern masing-masing agama tercipta
suatu kerukunan dan kebersatuan dalam masing-masing agama.
Kemudian, kerukunan
antar umat beragama adalah menciptakan persatuan antar agama agar tidak terjadi
saling merendahkan dan menganggap agama yang dianutnya paling baik. Ini perlu
dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang membahayakan
keamanan, dan ketertiban umum. Bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah dengan
adanya dialog antar umat beragama yang didalamnya bukan membahas perbedaan,
akan tetapi memperbincangkan kerukunan, dan perdamaian hidup dalam
bermasyarakat. Intinya adalah bahwa masing-masing agama mengajarkan untuk hidup
dalam kedamaian dan ketentraman.
Terakhir adalah
kerukunan umat beragama dengan pemerintah, maksudnya adalah dalam hidup
beragama, masyarakat tidak lepas dari adanya aturan pemerintah setempat yang
mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak boleh hanya mentaati
aturan dalam agamanya masing-masing, akan tetapi juga harus mentaati hukum yang
berlaku di negara Indonesia. Bahwasanya Indonesia itu bukan negara agama tetapi
adalah negara bagi orang yang beragama. Tentunya, hal-hal diatas juga bisa
diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya terdapat
beraneka macam suku, agama, ras dan budaya yang berbeda satu sama lainnya.
v Kerukunan
Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan
kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan
yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam
bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat
beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat
ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan
tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan
atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak
bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama
hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling
penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi
sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu
segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling
mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi,
keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih
mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang
paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha
memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak
antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan
arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan
apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas
kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling
pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain
dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh
kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih
mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.